Pemilu Amerika Serikat merupakan Pemilu yang paling banyak mendapatkan sorotan di mata dunia. Hal ini dikarenakan pengaruhnya yang sangat penting bagi politik dunia secara global. Banyak hal yang bisa kita pelajari dari Pemilu AS, misalnya tentang keterbukaan, tentang partisipasi, serta sistem Pemilu itu sendiri yang berbeda dengan sistem Pemilu di negara kita.
Ada beberapa orang dari delegasi Indonesia yang memperoleh kesempatan untuk ikut mengobservasi penyelenggaraan Pemilu Presiden AS pada 6 November 2012 lalu. Diantaranya adalah Husni Kamil Malik dari KPU, Nelson Simanjuntak dari Bawaslu, serta perwakilan dari Bapenas dan Kementrian Luar Negeri. Pemilu AS dengan segala kerumitan dan kompleksitasnya, memberikan banyak pembelajaran. Salah satunya adalah tentang transparansi.
Federal Election Comition di AS berbeda dengan KPU di Indonesia. Mereka tidak menyelenggarakan Pemilu seperti yang kita lakukan. Pemilu diselenggarakan oleh masing-masing negara bagian. Federal election Comition ternyata juga melakukan pengawasan terhadap pengelolaan dana kampanye. Selain itu peran social Media juga sangat besar. Bahkan dukungan untuk dana kampanye dapat dilakukan melalui pesan singkat dari ponsel. Jumlah pemilih pada Pemilu Presiden Amerika tahun 2012 lalu adalah 60 persen jumlah penduduk. Sedangkan di Indonesia pada tahun 2004 mencapai 71 persen.
Ada tiga hal yang menjadi catatan penting dalam kunjungan delegasi Indonesia pada Pemilu Amerika lalu. Yang pertama, yakni tingkat kepercayaan masyarakat yang tinggi terhadap sistem. Hal ini berbeda dengan di Indonesia, di mana selalu ada pertanyaan-pertanyaan dan ketidakpercayaan masyarakat yang juga terpublikasi lewat berbagai media. Kepercayaan masyarakat Amerika terhadap sistem, tidak terlepas dari transparansi yang telah dibangun selama bertahun-tahun. Mengenai dana pengelolaan Pemilu dan kampanye, terdapat semacam laporan secara kondusif dilaporkan kepada publik.
Dari segi kualitas partisipasi, AS memiliki kualitas yang jauh lebih baik. Di Indonesia, partisipasi pemilih sering kali masih harus dimobilisasi atau dipaksakan. Salah satu contoh, pada Pemilu AS, bisaanya warga tidak perlu didata oleh petugas, melainkan mereka sendiri yang secara aktif mendatangi petugas untuk mendaftarkan diri.
Meski demikian, Indonesia pun patut berbangga dengan partisipasi Pemilu Presiden terakhir kita. Meski sempat menurun dari Pemilu sebelumnya,, jumlah partisipan Pemilu kita mencapai 71 persen. Sedangkan Pemilu AS hanya 60 persen, itu pun sudah lebih baik daripada Pemilu sebelumnya. Terkait dengan keterlibatan perempuan, kita sudah meretifikasi konvensi tentang hak-hak perempuan, sedangkan AS belum. Hal inilah yang menjadi dasar keterlibatan 30 persen perempuan sebagai prasyarat keikutsertaan Parpol dalam Pemilu. Untuk AS, yang memberlakukan syarat seperti ini hanya Partai Demokrat. Tidak ada peraturan dari negara yang mengharuskan Parpol untuk mengikuti peraturan tersebut. Perbedaan selanjutnya, kita memiliki kartu identitas Pemilih. Sedangkan karena Pemilu AS terdesentralisasi, maka tidak ada kartu tanda pengenal nasional. Hal ini dapat menimbulkan kesulitan-kesulitan tertentu.
¬Indonesia baru berdemokrasi sekitar 13 tahun. Namun sejauh ini dapat dikatakan bahwa Pemilu yang demokrasi telah berjalan di Indonesia. Pada bulan Januari lalu, Indonesia pun kembali terpilih menjadi satu-satunya negara demokratis di Asia Tenggara. Tentu, tidak salah jika AS semakin menganggap penting Indonesia sebagai salah satu mitra strategisnya.
.