logo PPUAD

Minimnya informasi tentang penyandang disabilitas yang diperoleh penyelenggara Pemilu dinilai sebagai salah satu penyebab utama tidak aksesnya penyelenggaraan Pemilu bagi penyandang disabilitas. Hal inilah yang kemudian mendorong PPUA Penca dan AGENDA untuk menyelenggarakan sebuah pelatihan bagi para penyelenggara Pemilu. Dengan berbekal sebuah modul yang disusun berdasarkan pengalaman penyandang disabilitas dalam mengikuti Pemilu, akhirnya pelatihan dapat dilaksanakan di Hotel Santika, Bogor, serta diikuti oleh anggota KPU dan Bawaslu pada 22 dan 23 Februari 2013.

Pelatihan bertema “Menjamin Hak Penyandang Disabilitas dalam Pemilu” tersebut dibagi dalam tujuh sesi dengan dipandu oleh tujuh modul. Kegiatan yang seharusnya dimulai pukul 15:00 WIB tersebut, terpaksa baru dapat dimulai pukul 19:00 WIB karena adanya beberapa kendala. Meski demikian, ruang pelatihan tetap dipenuhi oleh seluruh peserta. Pelatihan dibuka oleh Masyukurudin dari JPPR sebagai fasilitator. Masykur memfasilitaasi sesi perkenalan yang berlangsung hangat dan ceria. Salah satu permainan yang sempat dibawakan oleh Masykur adalah, tiap peserta diminta menyebutkan namanya masing-masing, kemudian, berdasarkan huruf pertama namanya , peserta diminta menyebutkan kata-kata yang berkaitan dengan Pemilu.

“Nyoblos!” ujar Nelson Simanjuntak dari Bawaslu. Yang lain tergelak mendengar pilihan kata itu. Ariani Sukanwo dari PPUA Penca juga tak mau kalah. Berawal dengan huruf A, maka ia menyebut kata “Aksesibel!”. Sorak dan tepuk tangan kembali membahana dalam ruangan, membuat sesi perkenalan tersebut berlangsung akrab.

Sesi kedua dipimpin oleh Yusdiana dari AGENDA. Yusdiana membawakan modul berjudul “Memahami Nilai dan Prinsip Hak Asazi Manusia”. Hak Asazi Manusia (HAM) merupakan hak yang melekat pada diri manusia sejak lahir. Setiap manusia juga memiliki hak dan martabat yang sama. Oleh karena itu, melalui pelatihan sesi kedua ini, diharapkan peserta dapat memahami bahwa setiap orang memiliki hak asazi, dapat mengetahui berbagai instrumen HAM, serta memahami hak-hak asazi penyandang disabilitas dalam CRPD (Convention on The Right for Person with Disabilities) yang juga telah diratifikasi oleh Indonesia pada 2011 lalu.

Untuk dapat lebih memahami hal tersebut, pelatihan berlangsung secara partisipatif. Peserta dibagi dalam empat kelompok diskusi. Setiap kelompok diberikan keliping koran yang berisi berita-berita pelanggaran hak asazi penyandang disabilitas. Contohnya seperti berita seorang anak yang ditolak masuk sekolah karena kondisi disabilitasnya, atau seorang penyandang disabilitas yang dipaksa menandatangani surat sakit oleh petugas maskapai penerbangan nasional. Kemudian, setiap kelompok diminta mengidentifikasi jenis pelanggaran HAM yang terjadi, apa penyebabnya, siapa pihak yang seharusnya berkewajiban melindungi hak asazi penyandang disabilitas dalam kasus tersebut, serta upaya apa saja yang dapat dilakukan agar pelanggaran HAM serupa tidak terjadi lagi. Setelah setiap kelompok mempresentasikan hasil diskusinya, barulah kemudian Yusdiana menjelaskan lebih lanjut tentang hak asazi penyandang disabilitas. Adapun materi yang disampaikan yaitu “Landasan dan Perlindungan Hak Asazi Penyandang Disabilitas”.

Sesi-sesi selanjutnya, terus diisi dengan diskusi kelompok melalui studi kasus. Kali ini, Yustisia dari AGENDA yang menjadi fasilatator dalam tema “Memahami Hak Penyandang Disabilitas dalam Pemilu”. Sang fasilatator memutarkan sebuah video berisi testimoni dari penyandang disabilitas tentang pengalaman mereka mengikuti Pemilu. Dalam video tersebut ditayangkan testimoni dari Endang Purwaningsih (pengguna kursi roda) dan Jaka Ahmad (tunanetra). Keduanya memaparkan pengalaman dan pandangan masing-masing dalam keikutsertaan dalam Pemilu. Endang misalnya , dirinya pernah mengalami kesulitan dalam mengikuti Pemilu karena TPS yang didirikan di atas parit. “Di sana hanya diberi papan kayu, sehingga kursi roda saya tidak bisa lewat. Akhirnya setelah semua peserta selesai mencoblos, petugas KPPS datang ke rumah saya sambil membawa kotak suara. Tapi pencoblosan terpaksa saya lakukan di ruang tamu rumah saya, di hadapan mereka semua. Jadi azas rahasia sudah tidak ada lagi” cerita Endang.

Bagaimana jadinya jika para komisioner KPU dan Bawaslu merasakan diri mereka menjadi penyandang disabilitas? Agaknya, sesi satu ini menjadi sesi paling menarik sepanjang pelatihan berlangsung. Setelah hari pertama pelatihan berakhir hampir pukul 23:00 WIB, di hari kedua pelatihan kembali dimulai dengan kehangatan dan keakraban. Mempraktikan sebuah modul “Memahami Konsep Disabilitas dan ruang lingkupnya”, setiap peserta dibagi menjadi empat kelompok. Tak seperti hari sebelumnya, bukan diskusi yang dilakukan oleh setiap kelompok, melainkan bermain peran sebagai penyandang disabilitas. Kelompok I diberi penutup mata dan berperan menjadi tunanetra, Kelompok II menjadi pengguna kursi roda, Kelompok III menjadi pendamping tunanetra, dan kelompok IV menjadi pendamping pengguna kursi roda. Menarik, meski mungkin sedikit mengejutkan bagi para peserta yang merupakan pemangku kepentingan di kedua instansi tersebut.

Adapun, rute yang diminta dilewati adalah tangga, lift, dan pintu. Role play semacam ini menjadi pengalaman baru bagi setiap peserta. Bagi mereka yang mendapat tugas menjadi pendamping disabilitas, tetap diminta bergantian untuk berperan menjadi disabilitas. Dengan demikian, setiap peserta dapat merasakan bagaimana rasanya menjadi disabilitas, serta bagaimana sebaiknya mendampingi penyandang disabilitas. Setelah role play, Yustisia dari AGENDA pun memfasilitasi para peserta dengan memberikan sejumlah paparan. Materi mengenai jenis-jenis disabilitas, sejarah dan model disabilitas, stigma masyarakat, bagaimana menciptakan lingkungan yang inklusif, serta bagaimana berinteraksi dengan penyandang disabilitas- membuat para peserta semakin memahami konsep disabilitas serta betapa pentingnya pemenuhan aksesibilitas di segala bidang, termasuk bidang kepemiluan.

Secara keseluruhan, pelatihan berlangsung lancar. Meski sebagian peserta berhalangan untuk mengikuti keseluruhan rangkaian pelatihan secara utuh, diharapkan modul yang dibagikan kepada setiap peserta dapat menjadi acuan dalam penyelenggaraan Pemilu yang lebih aksesibel, LUBER, JURDIL, dan nondiskriminatif. “Yang paling penting, penyandang disabilitas sudah bisa masuk ke dalam relung hati para komisioner KPU dan Bawaslu yang menyempatkan diri hadir di pelatihan ini,” ujar Ariani Sukanwo-ketua umum PPUA Penca, ketika menutup acara.

***

.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *