Penyandang Disabilitas Mental Juga Punya Hak Suara

Pemilu 2014 semakin dekat. Berbagai pihak mulai sibuk, mulai dari KPU yang mempersiapkan segala keperluan Pemilu, hingga para caleg yang berkampanye di sana-sini. Di tengah hiruk pikuk tersebut, PPUA Penca sebagai organisasi penyandang disabilitas yang focus pada isu Pemilu, turut gencar menyuarakan hak penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam Pemilu 2014.

Selama ini PPUA Penca telah mengadvokasi tersedianya fasilitas dan layanan khusus bagi penyandang disabilitas dalam rangkaian kegiatan kepemiluan. Tunanetra yang membutuhkan template Braille. Pengguna kursi roda yang membutuhkan lokasi TPS akses. Tunarungu yang membutuhkan cara komunikasi tersendiri ketika hendak menyalurkan suaranya. Hal-hal tersebut agaknya telah cukup dipahami oleh KPU. KPU pun telah mengupayakan agar setiap kebutuhan tersebut terfasilitasi. Akan tetapi, ternyata masih ada kelompok disabilitas yang masih belum mendapatkan perhatian KPU, yaitu penyandang disabilitas mental atau yang dapat pula disebut sebagai penyandang psikososial atau gangguan jiwa.

Pertemuan pengurus PJS dan Komisioner KPU
Pertemuan pengurus PJS dan Komisioner KPU

Penyandang disabilitas mental merupakan salah satu kelompok masyarakat yang masih belum memiliki hak pilih. Maka, pada 19 Maret 2014 para pengurus PJS (Perhimpunan Jiwa Sehat) yang didampingi oleh PPUA Penca pun menyambangi para komisioner KPU untuk menyampaikan aspirasi mereka. Menurut Yeni Rosa Damayanti, Ketua PJS, orang-orang dengan gangguan jiwa umumnya dikesampingkan ketika ingin mengikuti Pemilu. “Saya punya beberapa kliping Koran yang menjelaskan bahwa orang dengan gangguan jiwa tidak ada dalam daftar Pemilih. Bisa tidak didaftar, tidak terdaftar, atau dicoret dari daftar setelah diketahui memiliki gangguan jiwa,” katanya.

Yeni menuturkan, bahwa selama ini KPU menyediakan TPS di rumah sakit umum, namun tidak demikian halnya dengan rumah sakit jiwa. Oleh karena itu, ia berharap agar pada Pemilu 2014 ini KPU dapat memfasilitasi pengadaan TPS di rumah sakit jiwa. Tidak hanya untuk para dokter, perawat, dan staf rumah sakit, namun juga untuk para pasien.

Sebagaimana disebutkan dalam UU No. 19 tahun 2011 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Penyandang Disabilitas, penyandang gangguan jiwa juga merupakan salah satu kelompok penyandang disabilitas. Artinya, orang dengan gangguan jiwa juga merupakan kelompok masyarakat yang dilindungi dalam UU tersebut dan berhak untuk ikut memilih.

“Kami bisa maklum, karena stigma terhadap orang dengan gangguan jiwa memang luar biasa. Orang dengan gangguan jiwa dianggap gila, sehingga tidak bisa membedakan mana yang real dan mana yang tidak,” ujar Yeni. Alasan itulah yang pada akhirnya membuat penyandang disabilitas mental tidak dipandang sebagai warga negara dan tidak punya hak pilih. Padahal, stigma orang dengan gangguan jiwa tidak mampu memilih merupakan pandangan yang keliru.

Situasi saat orang dengan gangguan jiwa tidak bisa membedakan kenyataan, hanyalah ketika mereka merasa benar-benar takut. Kondisi ini hanya terjadi sementara, tidak berlangsung secara terus menerus. Umumnya, penyandang disabilitas mental mampu mengendalikan pikiran mereka jika mereka minum obat secara rutin. Pasien-pasien di rumah sakit jiwa pun tidak semuanya tidak mampu memilih. Bahkan, sebagian besar dari mereka masih mampu mengikuti Pemilu. Begitu pula halnya dengan penghuni panti-panti sosial gangguan jiwa.

Jika dihitung, panti sosial gangguan jiwa jumlahnya bisa sampai ratusan, termasuk yang dikelola oleh swasta. Bila satu panti memiliki warga binaan 500 orang, maka tentu ini akan berpotensi meningkatkan jumlah suara jika mereka diberi kesempatan memilih. Banyak dari mereka yang masih mampu memilih, lantas mengapa mereka tidak diberi kesempatan? Maka dari itu, inilah saatnya untuk mematahkan stigma.

PJS berharap agar KPU dapat mengakomodir hal tersebut. “Kami memahami, bahwa sulit bagi KPU untuk menyediakan TPS di setiap RSJ dan panti sosial dalam waktu yang singkat ini. Akan tetapi, kami berharap agar RSJ dan panti sosial milik pemerintah-yang memiliki data yang jelas-dapat menyediakan kebutuhan tersebut,” pangkas Yeni.

Kebebasan memilih merupakan hak yang melekat pada diri seseorang. Tidak semestinya kebebasan memilih dibatasi dengan mampu atau tidaknya orang tersebut memilih. Toh, orang tanpa gangguan jiwa pun bisa saja menetapkan pilihan yang salah. Suatu kebebasan boleh saja dibatasi, bila kebebasan tersebut akan mengganggu atau merugikan orang lain. Namun, kebebasan menyalurkan hak suara tidak akan merugikan siapapun, apalagi merusak arah pembangunan bangsa.*.